Kukejar Gunung Semeru
(Kukenang Ajaran Guru Ngajiku Sepanjang Waktu)
(True Story)
Oleh: Drs. H. Samsul Hadi, M.Si.
Setiap kuingat guru ngajiku, tak lupa buru-buru kusampaikan doa penuh ta’dzim kepada almarhum guru ngajiku yang sarat dengan kebaikan, ketulusikhlasan, dan kemuliaan akhlaknya. Saat kumenulis kisah inipun tanganku gemetar dan sungguh, batinku juga menangis, hanya saja aku masih mampu menahan titik air mata ini jatuh. Jika air mata itu pun jatuh akan kubiarkan ikhlas membasahi pipiku. Biarlah semua kan kuanggap sebagai saksi cintaku setia pada almarhum guruku yang sudah puluhan tahun meninggalkanku. Aku yakin seyakin-yakinnya teman seangkatan ngajiku juga jika teringat jasa beliau pasti akan hancur perasaaannya tak jauh berbeda dengan diriku. Tak terkecuali mantan santrinya yang kini menjadi orang penting di nusantara ini, Drs. H. Ahmad Dofiri, M.Si. Kapolda Jawa Barat yang berpangkat bintang dua.
Nama Syamsul Hadi yang aku sandang sebagai identitas resmi ini adalah nama kebanggaanku. Bangga dan istimewa karena namaku adalah pemberian Sang Guru ngajiku . Berdasarkan cerita ayahku pada waktu itu. “De, yang memberi nama kamu itu Kiai H. Harun, pada saat ibumu melahirkan, sebagai saudara dekat, beliau datang dan sebagai penghormatan sekaligus meminta barokahnya, ibumu atas izin ayah, meminta kepada beliau agar memberi nama untuk kamu.” Cerita ayahku. Aku pun menanggapinya biasa-biasa saja pada saat itu, bahkan sebaliknya sedikit ada rasa kecewa mengapa bukan ayah atau ibuku saja yang memeberi namaku.
Bukan hanya nama, ilmu, dan segudang inspirasi lainnya. Khitan diriku pun adalah atas jasa beliau pada Saat aku duduk di kelas 5 SD. Ceritanya masih mudah kuingat, Pukul 12.00 aku pulang sekolah, ibuku tampak senyum-senyum menyambut kedatangnku di kursi teras. “De, Tadi Kang Harun datang atas nama panitia sunatan massal di Masjid Sal Mu’awanah Tegalurung. Bukakankah kamu sudah lama kepingin sunat?” desak ibuku penuh harap. “Iya Mi (akronim bahasa Jawa dari kata Mimi/ibu) Ade mau banget.” Jawabku singkat. “Alhamdulillah…syukur lah kalau begitu.” Puji ibuku kepada Allah SWT. Karena kalau menyelenggarakan sendiri acara sunatan anakanya dalam waktu dekat tentu butuh modal besar.
Pada saat itu aku dan guru ngajiku tinggal di desa yang sama, Desa Tegalurung Kecamatan Balongan Kabupaten Indramayu Jabar. Guru ngajiku Bernama K.H. Harun sepupu dengan ibuku berbeda ibu. Aku adalah anak bungsu dari 7 bersaudara, sedangkan guruku mempunyai 9 anak dua kali melahirkan anak kembar. Aku sepantaran dengan anak beliau Bernama Mohammad Imam Sibawaihi, S.Hum. Begitu dekatnya persahabatanku dengan dia baik di sekolah maupun di rumahnya. Kami hidup dalam kesederhanaan dari penghasilan sawah dan kebun yang kami miliki, begitu juga keadaan ekonomi guruku. Namun terasa hidup dalam kedamaian dan kenikmatan. Keluargaku dan keluarga guruku cukup dihormati karena sama-sama dianggap sebagai kiai.
Sejak aku menginjakkan kaki di kelas satu sekolah dasar, sepertinya aku tidak pernah tidur di rumah, begitu pula teman-temanku seperti: Ahmad Dofiri, Mustaram, Solihin, Suedi, Pandi, dan yang lainnya. Tak kenal hujan, hajatan, atau apapun, kami selalu menginap di mushola Al Misbah miliknya sambil menggali ilmu agama. Hari-hariku juga penuh dengan kegiatan yang sarat manfaat. Tempat yang aku kunjungi selain rumah adalah sekolah, madrasah, dan mushola. Mulai dari berangkat pagi sekolah SD, pukul 13.00 masuk ke Madrasah, sepulang madrasah hanya berselang untuk mandi sore langsung ke Mushola yang berjarak 1 km dari rumah. Di Mushola kegiatan yang aku ikuti adalah jamaah Maghrib, klasikal dan privat Al-Quran, kajian ilmu fiqh bab Pesolatan, bab Najis, Bab Bersuci, dan ilmu Tajwid, setelah Solat Isya kami menghapal nadhoman Fiqh bab soalt, wudhu, dan lain-lain. Pukul 9.30 malam kami bebas dan istirahat. Pukul 3.30 kami dibangunkan oleh Beliau dengan suara yang saaaangat lembut, membangunkan dengan full rasa kasih sayang. Teman kami yang pulas dibangunkan dengan sajadah yang Beliau pegang. Seolah dalam benak beliau para santrinya masih mengantuk dan kecapaian. Kami solat Subuh dan wirid berjamaah, setealah itu ngaji kitab kuning Safinatun Naja hingga matahari terbit, sekira pukul 06.00. kami para santri pulang, meneruskan aktifitasnya masing-masing. Mulai dari mandi, sekolah SD dan Madrasah, seperti itulah kegiatan rutinitas kami para santeri KH. Harun. Ketika aku kelas 2 SMP, ayahku membuat Mushola sendiri. Sejak itulah aku meninggalkan Sebagian kegiatan rutinnya dengan Guruku. Sebelumnya, full nyantri kepada kiaiku yang tak pernah bernada kares keras suaranya.
Bagaimana aku tidak menjadikan Beliau sebagai sosok yang menginspirasiku. Kegiatan kami di Mushoal semuanya dipimpin oleh Kang Haji Harun, anak lelaki pertamanya dan ketiga anak perempuannya masih menggali ilmu di pondok pesantren. Beliaulah yang menjadi Imam solat, ngajar privat Al-Quran, ilmu Tajwid, ilmu fiqh, dan yang lainnya beliaulah yang menghendel, terkecuali klasikal membaca Al-Quran, Beliau mewakilkan kepada santrinya yang dianggap mampu. Kegiatan yang berlangsung bertahun-tahun bahkan puluhan tahun sepeninggalnya aku, beliau terus istiqamah, hidupnya diabdikan untuk beramal soleh, tanpa memungut biaya sepeser pun dari santrinya, namun ikhlas karena Allah semata, bahkan sebaliknya para santri diajak berbuka puasa dan sahur bersama ketika menjelang bulan Ramadlan. Aku sendiri kadang ikut sahur bersama dengan Sang Guruku yang berwajah tampan dengan hidungnya yang mancung, sopan, selalu senyum, sedikit bicara, berkulit putih dan bersih hingga cincin koleksinya jika beliau kenakan terlihat mencolok warnanya karena jemarinya putih, terutama Zamrud birunya yang pernah aku tanyakan kepada ahli warisnya setelah beliau meninggal tahun 1980. Aku menyukai zamrud beliau, meskipun jika kukenakan tetap redup karena jariku yang hitam. Sahurku Bersama Beliau waktu itu, karena bekal yang kubawa direbut oleh semut. Selebihnya kutolak ajakan beliau untuk sahur Bersama, karena aku merasa kasihan dengan keadaan Beliau yang pas-pasan.
Tugas kami para santri kepada Beliau adalah mengisi bak besar untuk mandi dan wudlu kami sendiri, itu pun bukan permintaan Beliau, selama bertahun-tahun tak kudengar ucapan Beliau menyuruh kami untuk menimba air, menyapu halaman, menyapu dan mengepel musholanya. Jadi apa yang kami lakukan semuanya semata-mata keikhlasan dan mengharap berkah dari Sang Guru kami. dan yang kami lakukan adalah tidak karena keterpaksaan. Itulah telepati, empati, atau apalah namanya yang kami dapatkan dari jiwa Sang Pengajar Ngajiku.
Beberapa warisan monumental yang kudaptkan dari beliau dan masih teringat dengan gamblang sampai sekarang adalah Nadhoman berbahasa Jawa tentang “rukun wudlu, batal wudlu, makruh dan sunnah wudlu, rukun solat, batal solat, makruh solat. Dll.
Dua dari beberapa syair/nadhom yang sering kali aku sampaikan dimana pun termasuk saat Solat Duha berjamaah dengan seluruh siswa MTsN 7 Indramayu maupun saat Solat Duhur berjamaah adalah
Fardlu Wudlu
Fardu wudlu ikuu neenem itunganee
Siiji niat anaa ngati panggonane (2x)
Kaping pindo mbasuh raai sampurnane
Ping telune tangan sikut sekarone (2x)
Kaping papat ngusaap seetengahe sirah
Senejana rambut siiji iku esah (2x)
Kaping lima mbasuh taangan karo pisan
Nenem tertib kang artinee rut-urutan (2x)
Batal Wudlu
Batal-batal wudlu iku papat itungane (2x)
Siji metuu saking salah sawijine
Dalan-dalan loro dalan are plan gurine (2x)
Anging ora batal yen meetu maanine
Kaping-kaping loro iku ilange ing akal (2x)
Anging turu ingkang nenep ora batal
Kaping-kaping telu ngemek qubul lan dubure (2x)
Klawan jro tlaapak tangan langka alinge
Kaping-kaping papat senggolan kulit lorone (2x)
Lanang wadon gede lan duudu mahrome.
Tamat
Komentar
Posting Komentar