Jari Merah Tergigit Basah
Oleh: Drs. H. Samsul Hadi, M.Si.,
CBPA., CPRW.
Kutulis
kembali satu cerita perjuangan yang tertunda disaat usiaku 28 tahun. Alur
cerita perjuangan seorang anak santri dan guru ngaji kampung yang hanya bermodalkan sedikit pengalaman dan selembar
ijazah sarjana Syari’ah. Perjuangan seorang tenaga guru honorer SLTA swasta di bilangan Kota Mangga tempat
kelahiranku. Perjuangan seorang anak kiai desa yang sedikit tahu ilmu agama,
perjuangan dan cita-cita mengubah wajah
desaku tercinta.
Sepulang
dari tugas rutinku mengajar Rabu sore, Mas Made rupanya sudah lama menungguku
di rumah, “Mang Ade, ini ada surat dari
Pak Letkol TNI.” Katanya sambil menyodorkan surat untukku, selebihnya berada digenggaman
tangan kirinya. Made adalah preman terhormat dari salah satu saudara sepupuku. Kata
sandang Mang, sudah tenar di jagat kelahiranku Tegalurung Balongan Indramayu. Mungkin
hanya sedikit yang tahu kalau namaku Samsul Hadi. Kubaca surat itu buru-buru,
“Mas, selain aku siapa lagi yang dapat surat dari pak Wirayudi?” tanyaku
penasaran. “Kepala desa, Ketua MUI desa, tokoh masyarakat, dan pengurus inti
Karang Taruna serta IRMA 4 desa.” Jawabnya dengan rinci. Mas Made adalah orang
baru kaki tangnnya Pak Wirayudi. Maka kesempatan untukku mengorek info darinya. “Mas, inti dari surat
ini mengundang kami hadir pada Kamis sore syukuran rumah makan California yang mewah
dan megah itu.” Jelasku untuk memulai
penyelidikan. “Betul, Mang....” Jawabnya singkat. “Trus apa betul kata warga
bahwa tempat tersebut desainnya mirip tempat ajojing bagi pendatang yang haus
dan lapar?” desakku dengan bahasa ungkapan yang tentunya dia maklum. “Kalau betul, berarti desa kami
akan memiliki tempat maksiat yang selama ini tidak disukai warga doong.” korekku
terus mendesak penasaran. Mas Made hanya terdiam kebingungan, sepertinya ada
sesuatu yang disembunyikannya. “Hhmm... kalau soal itu saya kurang tahu, Mang.”
Jawabnya dengan wajah dan tingkah yang gugup
sambil sesekali melirik surat yang dia genggam. Kumengerti dibalik salah tingkahnya itu. Maka,
aku sudahi seolah tiada masalah. “Ya sudah Mas, terima kasih banyak, In Sya
Allah saya usahakan hadir.” Jelasku agar dia kembali santai. “Jangan lupa, Mang!”
ucapnya sambil menyodorkan tangan kanannya, salaman lantas berpamitan.
Pertanyaan
yang kuajukan kepada Mas Made, sebenarnya hanya mau menggali info terupdate
tentang rumah makan atau ada plusnya. Aku
sebagai Ketua Karang Taruna
sekretaris
FKKT, sie. Pendidikan IRMAS, dan sie. dakwah BKPRMI sudah melangkah sebelumnya
dengan melobi aparat terkait dan inten mengadakan pembahasan melalui rapat organisasi.
Cara yang kami tempuh harus profesional melalui jalur lembaga dan kooperatif dengan pemilik Calyfornia
berstatus TNI dengan pangkat Letkol dan aktif sebagai Kepala BP7 saat itu.
Langkah
utama kami adalah mengetahui perizinan mendirikan bagunan dari desa, kecamatan,
dan pemda. Juga Kepolisian terkait keamanan. Saya dan wakil ketua Karang Taruna
Tunas Muda, ketua dan wakil ketua IRMAS Al-Muawwanah yang mewakili tugas itu,
kami sengaja tidak melibatkan tokoh masyarakat dan ulama setempat terlibat jauh
dalam masalah ini, cukuplah spirit, doa, dan nasihat terbaiknya saja. Wakil
IRMAS dan Karang Taruna 3 desa pun kami ajak untuk berkoordinasi. Tidak hanya sekali kami datang menemui kepala
desa, Babinsa, Babinmas, dan camat kami.
Berjam-jam juga kami berdiskusi dengan para aparat. Yang kami lakukan cukup
maksimal, namun hanya sebatas usaha sosial keagamaan agar pemilik California
menutup usahanya, terkecuali
diperuntukkan sebagi rumah makaan seperti yang tertera pada undangan itu.
“Pihak
desa sudah berkoordinasi dengan camat, polsek, dan MUI, kalian tenang saja, dan
teruskan usaha untuk meredam emosi warga melalui cara apapun!” pinta kepala desa kepada kami
beberapa bulan terahir. Pernyataan itu aku anggap sebuah progres yang kami tunggu. “Tentang perizinan, itu tanggung
jawab kami selaku aparat pemerintah.” Tambahnya. Beliau tidak secara eksplisit
mengatakan ada atu tidaknya IMB, maka aku pun mendesak untuk mengetahuinya.
Begitu juga ketika kami ke camat dengan pertanyaan yang sama. Dan karena
keterbatasan wewenang kami dalam persoalan ini, kepercayaanlah jalan
terahirnya. “Adek-adek, sudah saya katakan berkali-kali, kalian tenang saja
yaa... kami sudah berkoordinasi dengan Bupati kalian, dan tanggapannya, agar
para pemuda dari 4 desa bisa menahan diri, Jangan ikutan jadi orang gila seperti pemilik
Calyfornia.” Jelas ucapan camat pada kami. Orang gila yang dia katakan pun
tidak kami pahami apa mksudnya. “Saya percaya, yang nantinya singgah di tempat
itu bukan warga setempat, melainkan orang dari daerah lain, saya yakin itu,
karena saya tahu desa sekitar Calyfornia adalah daerah yang agamis.” papar
camat seperti apa yang disampaikan bupati. Ucapan bupati kami anggap sikap cuci
tangan dan kepasrahan. Mereka seakan tidak mau berurusan. Tapi kami kerepotan menangani gejolak pemuda dan warga.
Tidak sedikit yang menyepelekan usaha kami, seolah tidak gigih. Dampak pertemuan kami dengan pejabat
hanya menyisakan rasa takut jika ada mata-mata lapor pada pemilik rumah makan
atas apa yang aku lakukan.
Kecemasan
dan rasa takut itu terbukti, kami dincam oleh pak letkol. Beliau mengetahui semua
gerak-gerik terselubung kami melaui salah seorang hipokrit pegawai kecamatan bernama
Wawang, nama-nama kami pun beliau hapal, Samsul Hadi, Nasrullah dan Roni Samsul
Bahri.
Ancaman
ini datang ditujukan kepada kami, sehari setelah datang menghadiri undangan pada
Kamis sore di rumah makan tersebut. Kami bertigalah yang paling dianggap vokal
dan frontal pendapat dan usulannya. Memang sebelumnya strategi ditempat
undangan itu sudah aku atur. Namun dalam koridor kooperatif dan mengedepankan
moral. Rencana yang tersusun rapi, pada akhirnya berubah drastis 180 derajat.
Bagimana tidak, setelah kami lihat keadaan, situasi, desain, dan lain-lain,
ternyata tempat yang kumasuki adalah bukan sekedar rumah makan biasa namun
sebuah diskotik. “Pernyataan yang
bernada kecurigaan Dek Samsul sebagai utusan karang taruna adalah tidak benar,
memang disini saya pasang lampu khusus, alat musik, dan saund karaoke adalah tambahan
layaknya rumah makan agar para tamu yang datang terhibur dengan alunan musik
menemani tamu yang datang.” Dan ini lumrah di tempat makan manapun.” papar pak
letkol dibelakang podium indah dengan tujuan meyakinkan pada hadirin yang
datang saat itu. “Kami tetap menghendaki agar tempat ini ditutup atau mengganti
peruntukannya hanya sebagi restauran, dan kami atas nama pemuda siap membantu
bapak dari segi keamanan atau lainnya yang bapak butuhkan.” Usul salah seorang
hadirin. “Tentu saja tidak bisa dirubah, Pak, karena saya sudah membeli dan
memasangnya.” bela pak Wirayadi dengan nada menaik. “Jangnkan hanya rumah makan
dan plus, Pak, UUD ’45 saja bisa diamandemen atas nama rakyat.” sanggah Roni
dengan nada tinggi. Pada ahirnya yang terlibat dalam perdebatan adalah para pemuda,
ulama dan tokoh masyarakat. Aku berusaha meredam situasi sebisaku, “Saudara-saudara,
saya juga sepakat ditutup jika tempat
mewah ini adalah diskotik. Namun karena penjelasan dari pemiliknya bukan
seperti yang kita tuduhkan, dan alsan beliau cukup rasional, maka sebaiknya
kita adakan perjanjian khusus diatas kertas.” bujukku untuk meredam situasi
yang makin panas.
Semakin
sore siatusi semakin panas seakan tak dapat dikendalikan, hingga para undangan
satu persatu wolkout. Dan tak ada satu pun yang mencicipi aneka hidangan mewah
yang menggiurkan di meja panjang dengan sinar puluhan lilin dan kepulan uap es
batu berbentuk patung indah ditambah warna-warni kupasan buah dibawah kaki
merak es itu.
Pak
Wirayudi adalah orang hebat, kuat, dan berani, dia tidak menghiraukan usulan
perwakilan 4 desa, tetap kokoh pendiriannya untuk meneruskan acara launcing
nanti malam dengan undangan para elit dan pengusaha berduit, juga tetap membuka tempat usahanya tanpa dihantui
rasa takut apa-apa.
Akan
tetapi dibalik sikap pemberaninya itu dia mengalami kerugian materi dan uang
ratusan juta rupiah akibat kedatangan petugas polisi yang menutup tempat dan
melarang launching malam itu. Jika tidak mengindahkan, maka aparat mengncam
tidak bertanggung jawab bila terjadi suatu hal. Alasan pihak berwajib mengatasnamakan usul warga melalui pemuda
dari unsur karang taruna dan IRMAS. Terutama desa pribumi. Berita heboh itu aku
ketahui dari laporan Mas Made pada Jumat
pagi.
“Mang,
mulai hari ini harus waspada betul, terutama malam hari, tolooooong...jangan
ada di rumah.” Tandasnya dengan serius. “Emang kenapa, Mas.” Tanyaku mendesak. “apa
yang Pak Letkol katakan?” aku terus penasaran. “Pak letkol katakan seumur
hudupku baru kali ini aku merasa dihinakan, digerilya oleh bocah-bocah
ingusan!” makin takut dan panas saja kepala ini, ciut nyaliku mendengar ucapan
Mas Made yang saya yakini tidak asal ceplos. “Truss apa lagi yang dia katakan?”
desakku terus. “Tolong cari bocah itu, minimal 3 orang karang taruna itu!” makin
takut saja aku dibuatnya. “Saya Berani taruhan dalam waktu singkat Potong.........ku
kalau tidak bisa meringkus 3 pemuda itu.” Jelas Mas Made yang juga tampak
merasa kasihan pada kami. Yang dimaksud titik-titikku tadi adalah dia menyebut
kemaluannya sendiri dihadapan Ms Made. “Memangnya kanapa saya harus kabur malam
hari, Mas?” desakku pada mas Made. “Dia merekrut bodigar-bodigar dari Tugu dan
Bedulan!” huuuuh.... bagai tersambar petir disiang bolong, ketakutanku makin
menjadi-jadi. Siapa yang berani berurusan dengan bodigar Tugu dan Bedulan,
mungkin sewilayah 3 cirebon tahu betul bagaiman bodigar dua desa itu, siapa
yang tak gentar mendengar bodigar dengan julukan “SADIGO” akronim dari salah sedikit golok.
“Tolong
sampaikan kepada Mas Roni dan Nasrullah ya... agar mereka waspada tinggi.”
Pesannya. “iya.....” jawabku lemas selemas kaus kaki yang baru kulepas dari
kakiku. Saat itu hari-hariku tak tenang, selalu gelisah, dan hanya bisa berdoa.
Istriku yang bekerja sebagai hakim PA Lokseumawe mengetahui hal ini entah dari
mana. Dua hari sekali kuterima suratnya dengan
nada takut dan mmberikan saran yang sama
untuk hati-hati, istri Nasrullah dan orang tuanya menyalahkanku dengan tuduhan membawa-bawa Nasrullah dalam perkara
ini. Begitu juga orang tua Roni. Sehari,
dua hari, seminggu, sebulan, saya berada di rumah hanya hitungan jam. selebihnya
pergi untuk sembunyi. Mas Made pun kerap datang menjumpaiku memberi informasi.
Benar
atau tidak ancaman itu, akupun tidak tahu. Tapi ikhtiar tetap kujalani. Aku
berniat untuk menyusun langkah kembali dan tidak akan mundur tinggalakan misi. Ini
perjuangan yang harus kupertahankan demi anak cucuku. Aku yakin ada yang
melindungiku di atas sana. Inilah janji dan tekadku
Anehnya, satu minggu, dua minggu,
sebulan, dua bulan, enam bulan. Dan entah berapa lama. Gebrakan drum, petik
gitar melodi dan bass, tombol piano, vokalis merdu, lampu mercury, gemerlap
seribu lampu warna-warni semuanya berirama indah mengiringi tamu berduit dengan
tentengan mobil mewah yang berbaris rapi dihalaman diatur oleh para pemuda dengan gambar yang
susah dihapus pada tangan dan lehernya. Tampak indah...yaa... sungguh tampak
indah, indaaah sekali, tak seindah diriku saat lewat dengan GL PRO produksi 1995
dengan jari merah tergigit basah.
Ditulis
oleh Samsul Hadi, Jl. Cendan 3, no 23 B5 RT. 33/09 Griya Asri 1, desa
Pekandangan Kec/Kab. Indramayu IG samsulhadi0406
Komentar
Posting Komentar